Home » » Cerita tentang gank motor di bandung

Cerita tentang gank motor di bandung

Artikel ini saya ambil dari Egofirah.blogspot.com Mulanya kumpul-kumpul sesama pecinta motor, kemudian berubah jadi geng yang beranggotakan puluhan bahkan ratusan orang. Di jalanan, mereka membentuk gaya hidup yang terkadang menyimpang dari kelaziman demi menancapkan identitas kelompok. Ngetrack, kebut-kebutan, dan tawuran adalah upaya dalam pencarian identitas itu.

KAWASAN Cilaki, Bandung, suatu sore. Matahari mulai menepi. Tak seluruh siluetnya jatuh ke jalanan. Kerimbunan pepohonan menghalanginya. Dalam teduh, tiga remaja terlihat sedang duduk-duduk. Mereka pelajar sekolah menengah atas yang sedang membunuh waktu, menunggu tibanya jadwal bimbingan belajar. Dari kejauhan, sepeda-sepeda motor menderu-deru. Jumlahnya belasan. Mereka jalan beriringan. Pedalnya dibuat meraung-raung, walau kecepatannya tak lebih kencang dari pembalap paling bego sekalipun.

Mereka melintasi tiga pelajar itu. Mereka, seperti tiga pelajar itu, semuanya berseragam putih abu. Tapi kedua kelompok jelas dari sekolah yang berbeda, dan mungkin tak saling kenal. Sebagian pengendara menyembunyikan seragam putih-abu itu di dalam jaketnya. Tepat di depan ketiga pelajar, salah satu pengendara motor terjatuh, seperti disengaja. Sontak saja teman-temannya melimpahkan kesalahan kepada tiga pelajar itu. “Maneh budak mana, tong macem-macem ka aing,” bentak salah satu pengendara motor itu. (Kamu anak mana, jangan macam-macam.)

Tiga pelajar tadi tak merespon. Merasa di atas angin, para pengendara itu melampiaskan kebinatangannya. Salah seorang mulai memukul. Dan ketika ketiga pelajar itu tak menunjukkan perlawanan, yang lain makin berani dan mulai ikut memukul. Adegan selanjutnya sudah bisa diduga, pengeroyokan tanpa alasan berlangsung dalam waktu cepat. Dua di antara tiga pelajar itu babak belur. Antoni Adi Krisna, salah satu pelajar dari SMUN 9 Bandung , dipukuli bertubi-tubi. Darah segar mengalir dari hidungnya. Pelajar lainnya dari sekolah yang sama, Muri Nugraha, dipaksa untuk menyerahkan barang berharga. Dompet pun melayang. Seorang lagi, Rizal Satria pelajar SMUN 2 Bandung, selamat dari aniaya itu. Ia mengambil langkah seribu.

Usai beraksi, geng tadi berlalu. Seorang pengendara tak lupa berseru dengan pongah “Aing raja jalanan tong macem-macem ka aing.” (Aku raja jalanan, jangan macam-macam). Suara knalpot memecah telinga, kemudian sunyi.

“Saya dan pedagang lain melihat kejadian itu, tapi tidak satupun di antara kami yang berani melawan mereka. Jumlahnya terlalu banyak,” Maryati, pemilik kios itu mengatakan kepada sayaMenurut Rita pengelola Daniel Bimbingan Belajar, Antoni Adi Krisna mengalami shock dan tidak ingin ditemui oleh wartawan. Demikian juga dengan orang tuanya yang tak ingin anak-anaknya terus terusan dijadikan bahan pemberitaan. “Ini tempat bimbingan belajar, jadi kami sangat menghormati pripasi pengguna jasa kami,” ujar Rita ketika saya meminta bertemu degan Antoni.

ADA masa-masa tak aman di jalanan Bandung. Geng motor, beranggotakan beberapa orang atau puluhan hingga ratusan, tak jarang bikin cemas. Ajun Komisaris Besar Polisi Masyudi, Kepala Polisi Resort Bandung Tengah, termasuk yang jengkel atas perilaku mereka. Ia mengancam akan melarang keberadaan geng motor.

Bisa dipahami kalau Masyudi jengkel. Soalnya, menurut Inspektur Polisi Wadi Sa’bani, Kepala Unit Reserse Kriminal Polisi Sektor Bandung Tengah, kasus-kasus kriminal yang melibatkan geng sepeda motor belakangan ini menunjukkan kecenderungan meningkat. Dalam satu tahun terakhir saja, kata dia, terjadi dua kasus setiap minggunya. Jumlah ini belum termasuk pengaduan dari masyarakat. Jenis kejahatannya beragam, mulai pencurian, tawuran, perampokan dengan kekerasan dan pengrusakan tempat umum.

“Di
kota lain, aksi brutal para gengster tidak separah di Bandung, bahkan mungkin tidak ada,”ujarnya, menerka-nerka. Sa’bani yang saya temui di kantornya mengungkapkan perilaku mereka didasari motif yang tak jelas. Bahkan, bukan sekadar kebutuhan ekonomi. Faktanya, banyak dari mereka berasal dari keluarga mampu. “Ada semacam kepuasan jika melakukan aksi melanggar hukum.”

“Kebanyakan dari mereka yang tercatat di kepolisian adalah anggota kelompok XTC.” Menurut Sa’bani, di antara mereka tak sedikit residivis dalam kasus pencurian kendaraan bermotor.

Ada catatan buat si residivis itu. Salah satunya menimpa perempuan muda bernama Furwanti, 18 tahun. Tengah malam ia lewat di Jalan Laswi. Tiga motor dengan enam orang pengendara, melaju pelan di hadapan Furyanti. Plat nomor motor mereka ditutupi plastik. Satu dari mereka memepet Furyani dan menempelkan sebilah golok di samping leher Furwanti. Hanya perlu sedikit gerakan untuk menyobek leher itu. Furwanti terkesima dan berhenti.

Dengan sewenang-wenang mereka merampas helm dan kunci kontak, lalu kabur dengan kecepatan tinggi. Belum habis teriakan Furwanti, beberapa polisi mendekati Furwanti kemudian langsung mengejar mereka. Nampaknya polisi telah mengintai mereka dari jauh. Polisi hanya berhasil menangkap dua tersangka pelaku. Empat orang lainnya lolos.

***

KECENDERUNGAN perilaku mereka mengarah ke kriminal setidaknya telah berlangsung sejak tahun 1990-an lalu, tak lama setelah arena balapan di jalanan di
Bandung dijaga ketat aparat kepolisian. Jalanan yang sering digunakan untuk kebut-kebutan antara lain kawasan Gasibu di Jalan Diponegoro, kawasan Dago dan Jalan Supratman.

Arena kebut-kebutan tak lagi terlokalisasi. Mereka menyebar secara sporadis ke jalanan lain yang lolos dari pindaian polisi. Jalanan membawa hawa panas rupanya. Mereka tak sekadar kebut-kebutan, tapi juga tawuran. Pada 1995, tiga pemuda dikerangkeng di balik penjara, karena terbukti bersalah dalam kasus tawuran antara geng Brigez dengan Binter Mercy. Satu orang anggota Binter Mercy tewas.

Saya berkunjung ke rumah Ilmanul salah satu anggota Brigez yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Saya mendapat sambutan hangat darinya. “Saat itu saya tidak tahu ada orang yang terbunuh, saya baru tahu dari koran keesokan harinya,” ujar Ilmanul meceritakan kepada saya. “Dalam tawuran, kita tidak peduli berapa korban yang terluka atau yang terbunuh, yang penting saat itu bagaimana menyelamatkan diri dan teman-teman,” tambahnya.

Ilmanul dihukum dua tahun penjara, sedangkan dua orang temannya masing-masing dihukum tiga tahun dan 2,5 tahun penjara. “Waktu itu memang kami bersalah, menggesek-gesekan samurai di depan mereka,” kata Ilmanul. Yopi, anggota GBR, mengisahkan tragedi paling mengerikan dalam hidupnya pada tahun 1998, ketika terjadi perang besar-besaran antara GBR dengan XTC yang melibatkan ratusan anggota geng motor di kawasan Dago. Lima orang meninggal dalam tragedi itu. Mereka mengenangnya dalam ungkapan “Dago Menangis.”

Yopi lulusan Universitas Pasundan Bandung tengah mendirikan lembaga konsultan dalam bidang pangan. Ia memutuskan untuk tidak lagi ikut dalam kegiatan geng motor.“Teman saya banyak yang meninggal, akibat tawuran dan OD (Over Dosis-red),”ungkapnya. Wendy Prananda, juga anggota GBR, menyaksikan temannya sendiri kehilangan salah satu telinganya akibat dipotong lawan tawurannya. Tapi peristiwa-peristiwa itu tidak menjadi alasan untuk jera. Wendy menyukai dunia broadcast. Ia menjadi juru kamera di salah satu televisi lokal di Bandung. “Kami seperti keluarga, meski saya sudah jarang gabung, tapi soal kesetiakawanan gak pernah luntur,” kata Wendy ketika saya menemuinya di kantornya.

Tahun itu seolah menjadi titik klimaks aksi brutal mereka. Pertemuan antar geng sering jadi saat yang paling rawan gesekan. Nyawa berguguran dan melahirkan dendam tak berujung. Samurai, jenis golok berukuran panjang yang biasa digunakan oleh kelompok Ninja di Jepang, menjadi senjata khas mereka. Tidak hanya saat tawuran, senjata ini biasa dipamerkan pada saat konvoi. Samurai dilepas dan ujung runcingnya digesekkan ke jalanan hingga memercikan cahaya api.

Senjata lainnya yang biasa digunakan yakni golok, stik soft ball, bom molotof bahkan senjata api jenis pistol. Tidak tahu pasti siapa yang menggunakan senjata api, namun dari penuturan sebagian anggota geng yang saya temui, semuanya pernah melihat teman satu gengnya menggenggam pistol atau malahan diancam dengan pistol. Tragedi demi tragedi terus terjadi. Dendam terus berkecamuk, seperti snow ball.

“Tidak perlu ada masalah, pokoknya kalau ketemu, kami saling hajar,” kata Devi Makmur alias Felix, salah satu pentolan XTC. Usianya masih muda belum genap 30 tahun. Saya menemuinya di sebuah café tenda di Jalan Dipatiukur.

Kejadian paling hangat Agustus 2006 ketika Brigez sedang konvoi ke daerah Garut. Tiba-tiba XTC melempari mereka dengan batu. Terjadi kejar-kejaran, lalu tawuran. Satu unit rumah dan mobil milik warga hancur. “Permasalahan dengan XTC tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun. Kami tidak pernah mewarisi dendam ini, tapi generasi selanjutnya akan tahu dengan sendirinya,” ujar Ilmanul kepada saya.

***
PERLU dibedakan antara geng motor dengan Club Motor. Geng motor adalah kumpulan orang-orang pecinta motor yang doyan kebut-kebutan, tanpa membedakan jenis motor yang dikendarai. Sedangkan Club Motor biasanya mengusung merek tertentu atau spesifikasi jenis motor tertentu dengan perangkat organisasi formal, seperti HDC (Harley Davidson Club), Scooter (kelompok pecinta Vesva), kelompok Honda, kelompok Suzuki, Tiger, Mio.
Ada juga Brotherhood kelompok pecinta motor besar tua. Tapi kalau soal aksi jalanan, semuanya sama saja. Kebanyakan sama-sama merasa jadi raja jalanan, tak mau didahului, apalagi disalip oleh pengendara lain.

Ada empat geng motor yang paling besar di Bandung yakni Moonraker , Grab on Road (GBR), Exalt to Coitus (XTC) dan Brigade Seven (Brigez). Keempat geng itu sama- sama eksis dan memiliki anggota di atas 1000 orang. Kini mereka mulai menjalar ke daerah- daerah pinggiran Jawa Barat, seperti Tasikmalaya, Garut, Sukabumi, Ciamis, Cirebon dan Subang. Kita mulai saja dengan Moonraker. Inilah konon ruh dari semua geng motor di Bandung. Moonraker lahir pada tahun 1978. Sel-sel komunitas ini, dirajut oleh tujuh orang pemuda yang sama-sama hobi balap.

Nama “Moonraker” diambil dari salah satu judul film James Bond yang kondang ketika itu. Awalnya mereka mengusung bendera berwarna putih-biru-merah dengan gambar palu arit di tengahnya. Namun, karena pemerintah Indonesia saat itu melarang ideologi tertentu yang identik komunisme (yang bersimbolkan palu arit), mereka lalu mengganti bendera kebanggaannya dengan warna merah-putih-biru, bergambar kelelawar. Gambar ini mereka adopsi dari lambang “Hell Angel”, sebuah kelompok motor di Amerika Serikat. Kelompok ini konsisten dengan sistem keorganisasiannya. Setiap tahun ada penggantian kepengurusan dan membuat program-program kerja. Struktur Organisasinya terdiri atas Divisi Balap, Panglima Perang (Paper), dan Tim SWAT atau regu penyelamat.

“Panglima Perang” mungkin terdengar unik dalam sebuah organisasi pencinta motor. Istilah ini biasanya digunakan oleh lembaga keamanan atau kelompok bersenjata. Di Moonraker sendiri, Panglima Perang bertugas mengkoordinir anggota pada saat terjadi tawuran, atau sebagai pembuat keputusan pada saat terjadi bentrok dengan kelompok lain. Jika ada keputusan perang, informasi menyebar ke seluruh anggota paling lama dalam waktu 24 jam.

Bagi para pembangkang yang melanggar tata tertib organisasi, sudah disiapkan tempat yang mereka sebut dengan nama “Sel 13,” semacam mahkamah pengadilan. Tempat ini paling dihindari oleh semua anggota. Jangan mengharap sebuah proses hukum layaknya sebuah lembaga pengadilan. Di sini para pembangkang itu akan mendapat penyiksaan dari senior-seniornya.

Kategori pelanggaran itu antara lain memakai dan mengedarkan narkoba, bertindak melanggar hukum dan menjalin hubungan kasih dengan sesama anggota Moonraker. Pengikut Moonraker semakin lama, terus membengkak. Kini tercatat anggotanya mencapai 1.400 orang, tersebar di berbagai wilayah.

Menurut Dandy Alfandy, salah satu pentolan Moonraker, sejak awal kelompok ini berorientasi pada balapan. Konflik dengan geng XTC (musuh terbesar Moonraker) pertama kali dipicu saat berlangsung kompetisi Road Race piala Djarum Super tahun 90-an. Persoalannya sepele saja, hanya senggol-menyenggol di arena balapan, entah siapa yang memulai. Puncaknya, terjadi tawuran besar-besaran antara ke dua geng ini pada tahun 1999. Satu orang meninggal dunia pada peristiwa itu. Hingga kini dendam sejarah itu masih mengendap dari generasi ke generasi. ”Pernah ada upaya damai, tapi percuma saja. Sekali musuh tetap musuh,” ujar Dandy. Saya berbincang dengan pemuda Dandy di kantornya.
Kini Ia membuka usaha penyedia jasa travel.

XTC punya anggota lebih banyak dari Moonraker. Siapa mereka? XTC atau Exalt To Coitus lahir pada tahun 1982 oleh 7 orang pemuda.Belakangan nama itu diganti menjadi Exalt To Creativity, karena nama semula agak berbau porno. Mereka membawa bendera berwarna paling atas putih-biru muda-biru Tua. Di tengahnya ada gambar lebah yang melambangkan solidaritas antar anggota. Bila salah satu di antara mereka ada yang diserang, maka yang lainnya akan membela.

Mereka kini mendirikan Sexy Road Indonesia, kumpulan gengster XTC se-Indonesia yang berpusat di Bandung, untuk memfasilitasi anggotanya yang sudah melebihi 10.000 orang. Tak hanya Moonraker sebenarnya. Brigez dan GBR, juga menyatakan permusuhannya terhadap XTC. Brigez yang paling antipati terhadap geng yang satu ini. Asal muasal terjadinya permusuhan tidak jelas sampai sekarang. Namun, baik XTC maupun Brigez menyatakan perang satu sama lain hingga saat ini.

“Setiap gengster ingin menjadi yang nomor satu, kenyataannya kami memang yang paling banyak anggotanya,” ujar Ari Rinaldi, salah satu anggota XTC mencoba menjawab alasan mengapa XTC banyak dimusuhi oleh geng lain. Ari Rinaldi tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung. Pasukan ini juga memiliki Koordinator Perang, untuk mempermudah koordinasi jika terjadi tawuran atau pada saat akan melakukan perbutan wilayah. Perebutan wilayah termasuk upaya dalam rangka memperluas daerah kekuasan dan meningkatkan prestise dikalangan gengster. Menurut Felix, penyerangan biasanya dilakukan diam-diam ke basis-basis lawan.

Anggota XTC, banyak anak-anak dari lingkungan TNI atau Polisi. Tak heran, jika terjadi perang senjata api banyak beredar. “Kami punya koneksi dengan pihak kepolisian, jadi kalau ada urusan dengan polisi cepat selesai,” ujar Felix meyakinkan saya.

Saya menemui Luki, generasi kedua geng lebah ini di sebuah café di Bandung. Ia seorang Sarjana Hukum dan kini bekerja di salah satu lembaga formal. Tak diduga Luki dikawal oleh lebih dari 6 orang teman satu gengnya dan saya berada di tengah-tengah mereka. Mereka bersikap sopan dan menunjukkan keinginannya berbagi cerita dengan saya. Saat itu saya seperti berada dalam acara talkshow, karena harus membagi kesempatan semua untuk bercerita. Bahkan saya sempat mendapat tawaran untuk menjadi ketua geng, wuaduh… “Kami ini kumpulan anak-anak nakal makanya masuk geng motor, kalo mau jadi anak baik-baik lebih baik masuk pesantren saja,” ujar Iskandar, laki-laki paruh baya. “Kerjaan kami ya hura-hura, bersenang-senang,” tambahnya.

Lalu, mengapa geng motor identik dengan kekerasan?“Itu karena aparat yang menciptakan. Mereka sering main gebuk sembarangan. Kami memang sering merampas motor milik geng lain saat bentrok, istilahnya rampasan perang. Tapi motor itu langsung kami bakar, tidak dijual atau dimiliki oleh salah satu dari kami,” kata Iskandar. “Mungkin bagi polisi tindakan itu termasuk kriminal, tapi menurut kami bukan,”tambahnya.

Iskandar termasuk pentolan XTC, ia juga ketua sebuah lembaga yang bergerak di bidang penyediaan jasa pengamanan, Bodyguard Security Service (BOSS). Markas BOSS dulu sering dijadikan tempat nongkrong anak-anak XTC. Dalam pertemuan itu, ketua XTC Avi Vabio akrab dipanggil Pepi, juga ada. Usianya jauh lebih muda. Ia ternyata salah satu karyawan bank berplat merah di Jawa Barat. Ia tak banyak banyak bicara, bahkan pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan kepadanya justru banyak dijawab oleh Luki.

Saya memutuskan menemui Pepi lagi. Kami bertemu di tempat yang sama keesokan harinya. Pepi membawa tiga orang kawannya. Dadan salah seorang di antaranya mengatakan bahwa telah terjadi selisih paham di atara anggota XTC sendiri. “Ada kelompok yang berusaha memanfaatkan massa XTC untuk kepentingan politik. Padahal harapan kami, ada ruang untuk berkreatifitas,” ujarnya. Malam itu Dadan membawa anak laki-lakinya yang masih berusia sekitar 2 tahun. Pepi mengaku sering diajak berunjukrasa dengan iming-iming uang. “Kami bahkan pernah terlibat dalam tim sukses Aa Tarmana, kandidat Walikota Bandung, tapi kalah,” kata Pepi. “Beberapa partai politik pernah meminta massa dalam jumlah tertentu untuk kampanye. Pada pemilu 2004, partai Demokrat juga meminta massa. Biasanya kami dibayar per kepala, ya lumayan lah..”Beberapa hari lalu mereka juga mengirim 200 motor pada perayaan ulang tahun Partai Demokrasi Pembaruan di Lapangan Gasibu Bandung.

Tidak menutup kemungkinan pada kampanye-kampanye atau unjukrasa itu bertemu dengan geng motor lain. Tapi kalau dalam urusan ini, mereka memilih damai.

Pertengahan 2003, XTC melakukan penyerangan sensasional. Mereka menyerang kantor Kepolisian Wilayah Kota Besar (Polwiltabes)
Bandung. Semua anggotanya tumpah ruah mengepung kantor Polwiltabes. Mereka kecewa karena tidak diberi izin pada saat mau mengadakan bakti sosial, akibat ada kesalahpahaman antara poilsi dengan panitia. Polisi tak bisa berbuat banyak menghadapi ribuan
massa yang memadati Jalan Merdeka sepanjang kurang lebih 3 Kilo Meter. Beberapa orang yang dituduh provokator ditahan di kantor Polwiltabes
Bandung.

“Kalau gak ada XTC ya gak rame, gak akan terjadi perang,” Iskandar menambahkan. Tapi ia menitip pesan untuk para aparat: “tolong rangkul kami, masa GAM dengan RI saja bisa berdamai?”

TAHUN 1980-an juga ditandai kelahiran Brigez dan GBR.

Brigez lahir di SMUN 7 Bandung, sesuai dengan namanya Brigade Seven. Sejak masih embrio pada tahun 80-an geng ini merupakan rival terberat XTC. Awal terbentuknya tak lebih dari hanya sekadar kumpul-kumpul biasa. “Kami hanya ingin bebas menjalankan motor, tidak pakai helm, tidak pakai lampu apalagi rambu-rambu,” kata Ilmanul, salah satu pendiri Brigez. Dulu geng ini hanya beranggotakan tidak lebih dari 50 motor. Kini pengikutnya mencapai ribuan motor dan tersebar di berbagai daerah di Jawa Barat. Sistem pengorganisasiannya tidak jelas. Tidak ada pengurus, hanya ada ketua yang bertugas mengkoordinir saja.

Warna bendera negara Irak tanpa huruf Arab di tengahnya, menjadi lambang identitas kelompok ini dengan kelelawar hitam sebagai simbolnya. Nama Brigez acapkali diplesetkan menjadi Brigade setan atau Brigade Senja, karena mereka sering nongkrong bersamaan dengan kepulangan sang surya.

Berbeda dengan XTC, Brigez identik dengan sikap anti birokrasi. Mereka menolak bersimbiosis dengan lembaga plat merah atau ormas bentukan kelompok politik tertentu. Menurut Ilmanul, lamaran dari Ormas Pemuda Pancasila untuk bergabung, ditolaknya mentah-mentah. Kalau pun ada anggotanya yang menjadi kader partai, itu lebih bersifat individu dan tidak membawa bendera Brigez. Bersamaan dengan Brigez, muncul pula Grab on Road (GBR). Yang berbeda, geng ini dilahirkan di lingkungan SMPN 2 Bandung. Mereka tak rikuh kebut-kebutan, sekalipun banyak yang belum pegang surat ijin mengemudi.

Kelompok ini mengidentifikasi diri dengan segala sesuatu berbau Jerman, paling tidak warna benderanya hitam-merah-kuning (urutan dari atas ke bawah). Meski lahir di SMPN 2 Bandung, anggota GBR beragam. Bukan hanya siswa atau alumni sekoah itu saja, tapi kalangan umum lain.

Saya menemui Supiana, Pebina Urusan Kesiswaan SMPN 2 Bandung. Ia menolak sekolahnya diidentikan dengan geng. “Tidak ada fakta bahwa GBR berdiri di SMPN 2,” ujarnya. Namun ia membenarkan halaman sekolahnya dijadikan tempat bergerombol pada sekitar tahun 80-an.

WENDY Pranandha, anggota geng GBR, mengatakan keinginannya masuk geng karena pengaruh lingkungan. “Saya terpaksa masuk geng karena 80 persen siswa SMP 2 saat itu anggota geng GBR, selain ingin coba-coba.”

Dari Wendy dan beberapa anggota lain, saya punya kesan bibit anggota geng sepeda motor di Bandung dipupuk mulai usia belasan tahun, bahkan itu tadi, sejak mereka duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Banyak sekolah-sekolah menjadi basis mereka. Seperti SMUN 7 terkenal sebagai sarangnya Brigez, SMU BPI sarangnya XTC dan SMP 2 tempat lahirnya GBR. Labelisasi geng motor terhadap sekolah tertentu mempengaruhi pilihan para calon siswa ketika menentukan sekolah mana yang akan mereka pilih. Siswa yang sudah memiliki keterikatan dengan geng tertentu semasa duduk di SMP, akan memilih SMU yang merupakan basis geng asalnya.

Sedangkan siswa yang netral justru akan menghindari sekolah-sekolah yang identik dengan geng. Bisa juga karena kehawatiran orang tua sehingga dimasukkan ke sekolah yang lebih bersih dari geng. Meski demikian banyak siswa dan orang tuanya yang tidak terpengaruh dengan isu ini. Pihak sekolah SMUN 7 Bandung, tempat bersarangnya Brigez, dulu kewalahan menghadapi mereka. Setiap hari ada saja ulah mereka, mulai malak (meminta uang dengan paksa) teman-teman sekolahnya, hingga mengancam para guru. Uang diistilahkan oleh mereka dengan sebutan “sumsum.”

Wakil Kepala Sekolah SMUN 7 Bandung Sucipto, pernah diajak berkelahi oleh para anggota geng. Sucipto memang getol memerangi mereka.Ban motornya sering kedapatan bocor atau namanya menjadi mozaik di tembok-tembok sekolah dengan tulisan kasar dan mengejek. Pada 1999, SMUN 7 melakukan pembersihan terhadap gengster. Spanduk-spanduk anti geng, pembersihan tembok-tembok dari coretan “Brigez” dilakukan dalam tempo singkat. Lalu pihak sekolah memutuskan untuk mengeluarkan siswa yang terlibat geng.

Meski demikian, setiap tahun ada saja bibit Brigez yang tumbuh. Dilarang di sekolah, mereka mengeruhkan jalanan. Di jantung kota, di pasar-pasar, di daerah pertokoan, jembatan, di gedung sekolah, gedung pemerintahan, taman kota, dimana-mana di kawasan Bandung pasti terdapat coret-coretan. Medianya bisa tembok, papan, batu, seng atau apapun yang bisa menjadi media tulis.

Sekilas, coretan-coretan itu tidak bermakna apa-apa. Kalau diperhatikan coretan-coretan itu bertuliskan nama-nama geng motor. Yang paling banyak ditemui adalah tulisan Brigez, XTC, M2R dan GBR . Bukan hanya di kota Bandung, di daerah-daerah pinggiran pun, banyak beredar tulisan-tulisan semacam itu. Sepertinya memang sepele. Tapi dari coretan itu bisa terjadi pertumpahan darah. Tulisan nama geng di tembok di wilayah tertentu, menandakan wilayah kekuasaan geng itu. Tulisan nama geng juga berarti kebanggaan bagi geng tersebut.

Masalah muncul jika dalam sebuah dinding terdapat nama salah satu geng, tapi kemudian ada yang mencoret dan diganti dengan nama geng lain. Ini adalah salah satu pemicu terjadinya tawuran antar geng. “Kalau ke luar kota, kami pasti menyempatkan mencoret dinding, itu menandakan bahwa kami pernah ke tempat itu dan itu adalah kebanggaan,” kata Ilmanul Bagi para geng coret-coret dinding itu memicu adrenalin. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan pada saat beraksi. Lebih dari itu mereka harus berhadapan dengan geng lain yang menguasai wilayah setempat.

MASUK ke dalam komunitas ini tidak cuma-cuma. Calon anggota Moonraker, misalkan, tak jarang diwajibkan mengendarai motor tanpa rem dari Lembang hingga Jalan Setibudhi Bandung. Jaraknya sekitar 15 kilometer.

Kalau tidak disuruh ngebut tanpa rem, anak baru dipaksa berkelahi dengan seniornya. Pendeknya, mereka tampil pada panggung kehidupan sosial dengan menawarkan model-model kekerasan. Diakui atau tidak, itulah pola yang terbentuk melalui berbagai gerakan yang mereka tampilkan. Tindakan kekerasan seperti kebutuhan spritual untuk membentuk identitas kelompoknya.

“Tindakan melanggar hukum memang ada, hanya agar orang lain tahu bahwa kami ada,” kata Ilmanul, anggota Brigez itu. Ia kini berusia 27 tahun dan kini berwiraswasta. “Kalau soal membuka jalan dan memukul spion mobil orang, itu biasa dan sering dilakukan pada saat konvoi. Ada juga yang mencuri, tapi uangnya digunakan rame-rame untuk pergi keluar kota atau konvoi,” tambahnya. Setiap geng memang tidak membenarkan tindakan itu, tapi ada tradisi yang tidak tertulis dan dipahami secara kolektif bahwa tindakan itu adalah bagian dari kehidupan jalanan. Apalagi jika yang melakukannya anggota baru yang masih berusia belasan tahun. Mereka “mewajarkannya” sebagai salah satu upaya mencari jati diri.

Yopi, anggota GBR berusia 25 tahun, punya pengalaman yang membuat jantungnya bertabuh. Pada suatu malam di Jalan Cihampelas, dia bersama seorang temannya menghadang dan mengancam seorang pengendara motor. Setelah berhasil mematahkan keberanian orang itu, ia dan temannya justru bingung mau melakukan apa. Akhirnya keduanya sepakat untuk mengambil uang secukupnya dari dompet korban, lalu kabur sekencang-kencangnya. “Deg-degan, tapi puas karena gak tertangkap polisi,” kenang Yopi seraya tersenyum lebar.

Ada juga inisiasi yang lain. Untuk menjadi anggota senior, misalkan. Ia tidak cukup dengan berapa lama dia bergabung di geng itu, tapi butuh pembuktian bahwa orang itu berani melakukan hal yang paling beresiko sekalipun. Semakin tinggi resiko yang dia ambil, semakin tinggi pula penghormatan atas dirinya Senior adalah kedudukan penting bagi geng. Seorang senior mempunyai keleluasaan dalam hal apapun. Ia juga mempunyai hak menentukan keputusan terhadap para junior. Kedudukan senior bahkan lebih tinggi di atas ketua geng. Senior bisa memutuskan salah atau benar dan menghukum junior dengan caranya sendiri.

Wendy Pranandha, anggota GBR, mengatakan peran senior amat menentukan. Sekali saja ada anggota yunior tidak kelihatan kumpul wajib setiap malam minggu, si senior akan menghajar sesuka hatinya, tak peduli alasan apapun. Kekerasan seolah mewakili spirit mereka. Mungkin juga mereka menganggap itu pilihan
gaya hidup. [end]

0 komentar:

Posting Komentar